Kerusuhan Sampit dengan korban beberapa ratus jiwa nyatanya cuma berawal dari perkelahian siswa SMK di Baamang. Perkelahian itu melibatkan anak warga Dayak serta Madura.
Perkelahian siswa tersebut, yang lalu menyebabkan perseteruan antarkeluarga, antaretnis, sampai pembantaian hingga pengusiran beberapa puluh ribu warga Madura. Anak polah, bapa kepradah. Pepatah Jawa yang bermakna anak berbuat, orangtua turut ikut serta ini berlangsung atas diri keluarga Matayo. Warga asal Madura yang telah lama tinggal di Baamang, Sampit, ini tidak terima anaknya berkelahi dengan anak warga Dayak. Namun, keterlibatan Matayo atas perkelahian anaknya ini jadi menyebabkan kegeraman warga dayak. Lantas, dibuatlah perhitungan.
Minggu awal hari sekitaran jam 03. 00 (18 Februari) sekumpulan pemuda Dayak menyerang serta membunuh Matayo. Tiga orang anggota keluarganya turut tewas. Itu versus warga Madura. Versus warga Dayak agak tidak sama lagi. Mereka katakan, eksekusi pada Matayo serta keluarganya berlangsung lantaran yang berkaitan kerap lakukan tindak kriminil. Warga setempat juga kesal lantaran kerap dirugikan. Cuma empat jam, eksekusi Dayak pada Matayo ini menebar.
Warga Madura tidak dapat terima. Beberapa warga pendatang ini lalu menyatroni Ketua Instansi Musyawarah Orang-orang Dayak, Seruyan Tengah, untuk membalas dendam. Komplit dengan beragam senjata, warga Madura ini minta Iniel menyerahkan pembunuh Matayo yang bersembunyi di tempat tinggalnya. Mereka meneror bakal membakar bila pelaku tak diserahkan.
Namun, 39 orang didalam tempat tinggal Iniel tak keluar. Warga Madura mulai tak sabar. Mereka melemparkan apa sajakah ke pagar serta kaca tempat tinggal. Bahkan juga, ada yang berupaya membakar tempat tinggal. Mendengar ribut-ribut, polisi datang, lantas mengamankan 39 orang yang ada dirumah Iniel. Beberapa memanglah mengakui membunuh Matayo. Namun, warga Madura tak senang serta mengarahkan amarahnya ke warga Dayak yang lain. Sebagian tempat tinggal warga Dayak dibakar. Nasib tragis dihadapi Jihan atau Seyan, seseorang purnawirawan TNI AD. Seyan beserta ketujuh anak serta cucunya yang beritanya masihlah kerabat Iniel dibakar hidup-hidup dalam tempat tinggalnya. Mulai sejak hari itu, warga Madura kuasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, beberapa puluh warga Madura pawai keliling kota. Mereka memakai beragam kendaraan, mulai roda dua hingga roda empat. Mereka tidak cuma berpawai. Tiap-tiap berjumpa warga Dayak, mereka menguber serta membunuhnya. Sekurang-kurangnya, sepuluh tempat tinggal dibakar.
Tujuh orang tewas waktu warga Madura kuasai Sampit. Bahkan juga, seseorang ibu muda hamil tujuh bln. turut dibunuh dengan dirobek perutnya. " Itu kenyataan, " kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Kondisi itu bikin Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam keseluruhan. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan Baamang berjalan sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan tempat tinggal jabatan bupati sampit. Namun, lalu diarahkan ke kantor bupati.
Yang mengungsi tidak cuma warga Madura. Juga Dayak serta Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi. Ini berlangsung lantaran mereka belum tahu benar siapa yang kuasai jalanan di Sampit malam itu, Madura atau Dayak. Di pengungsian, Madura serta Dayak jadi rukun. ”Saya waktu itu turut mengungsi” tutur seseorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura lakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang menghadap kota Kecamatan Kota Besi.
Penjagaan juga berlangsung di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, serta desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Sepanjang berpawai itu, warga Madura selalu berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. " Mana Panglima Burung? Mana tokoh Dayak? " tantang mereka. Tidak cuma itu, seseorang tokoh Madura lakukan orasi melalui pengeras nada, " Sampit bakal jadi Sampang ke-2, Sampit jadi Sampang Ke-2 ".
Mereka juga menempatkan spanduk : Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. " Spanduk itu yang kami mencari saat ini, " kata Bambang Sakti. Bambang juga katakan sudah temukan beberapa bom di beberapa tempat tinggal warga Madura. " Ini bukanlah isapan jempol, " katanya. Sekurang-kurangnya, pasukan Dayak telah menyerahkan 300 bom yang diketemukan dirumah warga Madura. Demikian halnya sebagian pucuk pistol. " Tidak paham bagaimana tindak lanjutnya, " tuturnya. Beritanya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lantas diantar ke Sampit. Namun, sumber Jawa Pos mengatakan, bom rakitan di buat di Sampit. Lantas, didistribusikan ke beragam warga Madura di kecamatan.
Mereka katakan bom itu untuk menjaga diri bila setiap saat terserang warga Dayak. Namun, lantaran bom itu juga, 112 warga Madura di Kecamatan Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini sesudah warga Dayak temukan bom dirumah seseorang warga Madura.
Lihat tindakan penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tidak tinggal diam. Mereka lalu membawa bala pertolongan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dahulu lakukan perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kemampuan mulai berbalik.
Warga Dayak pedalaman dari beragam tempat daerah aliran sungai (DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan juga Barito berdatangan ke kota Sampit lewat hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berumur muda tidak lebih 25 th. membekali diri dengan beragam pengetahuan kebal. Jumlahnya sekitaran sekitar 320 orang.
Pasukan itu lantas menyusup ke daerah Baamang serta sekitarnya, pusat permukiman warga Madura. Walau dalam jumlah kecil, kekuatan bertempur pasukan spesial Dayak begitu teruji. Buktinya, mereka dapat memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di beberapa pojok jalan Sampit. Dengan pengetahuan kebal, mereka melawan beberapa ribu warga Madura. Bahkan juga, mereka mampu hadapi bom yang banyak dipakai warga Madura. Dalam bentrok terbuka, seseorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Namun, bom bisa di tangkap serta dilemparkan kembali pada arah kerumunan Madura. Meledak. Beberapa puluh warga Madura tewas saat itu juga. Terkecuali kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tak mempan ditembak. Mereka malah memunguti peluru untuk dikantongi. Karenanya, polisi juga keder.
Mulai sejak itu, mental Madura juga segera down. Kiat yang diaplikasikan warga Dayak dalam serangan balik cukup tepat. Terkecuali masuk melalui Baamang, sekitaran empat perahu penuh pasukan dayak tak segera merapat ke bibir sungai.
Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota tepi sungai di tepian kota Sampit. Kiat ini untuk hindari pengawasan orang Madura. Lalu, dengan cara mendadak, mereka nampak serta menyerang permukiman Madura. Madura juga di buat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman selalu bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau di kenal Jalan Gatot Subroto, serta S. Parman. Tempat tinggal tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tidak luput dari tujuan. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Beberapa lari. Beberapa becak sisa dibakar berantakan di halaman tempat tinggal yang hancur.
Tempat tinggal tokoh Madura lain seperti Haji Satiman serta Haji Ismail juga dihancurkan. Tak kecuali tempat tinggal Mat Nabi yang di kenal sebagai jagonya Sampit. Walau sebenarnya, tempat tinggal tokoh-tokoh Madura yang ada di Sampit, Samuda, ataupun Palangkaraya termasuk cukup elegan. Serangan pasukan inti Dayak lalu diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari tempat tinggal serta warga di selama kota Sampit. Beberapa ratus warga Madura dibunuh dengan cara mengenaskan, lantas dipenggal kepalanya.
Hari-hari selanjutnya gelombang serangan suku Dayak selalu berdatangan. Bahkan juga, sebelumnya menyerang, seseorang tokoh atau panglima Dayak lebih dahulu membekali pengetahuan kebal pada pasukannya. Karenanya, waktu lakukan serangan, umumnya mereka ada dalam alam bawah sadar.
Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura serta non-Madura. " Dari jarak sekitaran 200 mtr., baunya telah tercium, " tutur. Itu tidak terlalu berlebih. Waktu ada evakuasi, di dalam jalan seseorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non-Madura. Sebelumnya masuk ke tempat penampungan, mereka terkena sweeping Dayak. Walau orang itu ada di dalam pengungsi, masihlah tercium serta diminta turun. Tanpa ada ampun, lelaki tadi dibantai.
Supaya serangan ke perkampungan Madura teratasi, beberapa komando warga Dayak memakai Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan juga, di hotel tersebut pasukan di beri ramuan pengetahuan kekebalan oleh beberapa panglima. Waktu digerebek, aparat temukan sebagian kepala manusia. Namun, beberapa tokohnya pernah melepaskan diri. Saat ini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line.
Ada diatas angin, pasukan Dayak lantas memperlebar serangan ke beragam kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Tujuan pertama, Samuda, ibu kota Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, serta Parebok yang banyak ditempati warga Madura. Samuda serta Parebok jadi tujuan sesudah Sampit lantaran banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok ada juga Ponpes Libasu Taqwa.
Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini dapat jadikan tempat berlindung banyak warga Madura.
Warga Madura di kecamatan lain juga tak terlepas dari buruan. Umpamanya, Kuala Kuayan. Beberapa ratus korban jatuh dengan kepala terpenggal. Saat ini, warga Dayak praktis kuasai nyaris semua lokasi Kalimantan Tengah. Terkecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman lantaran nyaris tidak ada warga Madura yang tinggal di semuanya kota kecamatan. Penghuninya, waktu itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke rimba, baik Palangkaraya, Sampit, ataupun Samuda.
Bohong, bila Gubernur Kalimantan tengah Asnawi Agani menyampaikan orang Madura yang tewas 200 orang, walau itu info yang datang dari Posko Sampit. Hal semacam ini disebutkan beberapa orang Madura yang turut naik KRI Teluk Ende 517. Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK serta pengungsi dapat lihat beberapa puluh mayat yang mengapung di selama sungai, serta beberapa bangunan tempat tinggal warga Madura serta Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus.
Disebutkan seseorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), kalau yang terlihat di sungai saja ada beberapa puluh yang mengapung serta tersangkut di tepi. Sesaat yang tenggelam serta terbenam kian lebih 200 warga etnis Madura. " Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di tepi selama Jl. Masjid Nur Agung saja tak kurang dari 200 mayat, " tuturnya.
Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak saja sudah bersyukur.
Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina. Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong.
Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,... kuluk,... kuluk,... sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura. Tidak ada yang tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak dengan suara kuluk..., kuluk..., sambug-menyambung muncul dari segala penjuru.
Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit. "Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak," kata Sopian.
Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas melawan Dayak di Semuda. "Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua hari saja," kata Sopian.
Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak. Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman. Kekesalan warga Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi, seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat merangkak sejauh 300m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian. Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya.
Seorang pengungsi, Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis. Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh turun dan dibantai. "Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200 pengungsi yang tewas dibantai," kata Choiri.
Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya wanita dan anak-anak. Begitu jemputan yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta.
Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan perintah panglima perang suku Dayak.
Analisa
Prof H.K.M.A Usop, mantan Rektor Universitas Palangkaraya yang kini sebagai Ketua Presedium Lembaga Musyawarah Dayak Daerah Kalimantan Tengah (KPLMDDKT), mengakui kalau banyak pelanggaran, tindakan kriminal yang merugikan harta dan nyawa orang Dayak. Sebetulnya, setiap kali terjadi bentrok selalu diakhiri perdamaian. Tapi, setiap kali pula warga Madura melanggarnya. Begitu seterusnya. "Paling tidak sudah ada 15 kali perdamaian. Tapi, hasilnya sama selalu dilanggar warga Madura," kata Usop saat pertemuan tokoh masyarakat Dayak dengan DPRD Kalteng. Bahkan, saat pembuatan jalan Palangkaraya-Kasongan terjadi bentrok Dayak-Madura, tepatnya di Bukit Batu tahun 1983. Setelah bentrokan reda, dibuatlah perdamaian antara tokoh Dayak dengan tokoh Madura. Ada satu poin penting dalam perjanjian itu. Yakni, Warga Madura dengan sukarela akan meninggalkan Kalimantan Tengah jika melakukan pertumpahan darah terhadap warga dayak. Tapi, berkali-kali ada pertumpahan darah warga Madura jangankan pergi tapi makin banyak berdatangan ke Kalimantan. "Dokumen itu yang kini sedang kami cari," tambha Usop.
Menurut Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia, ada empat faktor utama akar konflik di Kalimantan, yaitu;
1. Terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan sedikitnya warga Dayak yang bisa menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah lebih banyak di pegang oleh warga pendatang.
2. Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu. Sejak tahun 1995 para transmigran di tempatkan di pedalaman Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah, yang dikenal keras dan pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH.
3. Masyarakat Dayak kehilangan pijakan, terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan pemerintah telang menghilangkan/mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat.
4. Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat pada lemahnya hukum dimata masyarakat, sehingga masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya dengan menggunakan kekeras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar